Kusmajadi Suradi
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Dibawakan dalam seminar nasional Prospek Ternak Kelinci Dalam Peningkatan Gizi Masyarakat untuk Mendukung Ketahanan Pangan, Bandung 25 Januari 2003
Pendahuluan
Daging merupakan bahan pangan asal ternak yang sangat essensial bagi tubuh, karena bahan pangan ini mengandung zat-zat makananan yang sangat diperlukan oleh tubuh terutama pada periode pertumbuhan. Menurut Widyakarya Pangan dan Gizi (1998), bahwa konsumsi rakyat Indonesia harus 15 g protein hewani per kapita per hari, dimana diharapkan 6 gram disediakan dari hasil peternakan dan sisanya dari hasil perikanan, namun menurut data yang ada (Dirjen Peternakan, 2000) bahwa sampai dengan tahun 1999 konsumsi protein hewani dari hasil peternakan baru mencapai 3,4 g/kapita/hari, yaitu 2,10 g dari daging, 0,74 g dari telur dan 0,36 g dari susu.
Penyediaan daging untuk memenuhi standar kecukupan pangan berarti harus meningkatkan produksi ternak.Untuk memenuhi kebutuhan tersebut tampaknya kurang optimistik bila hanya dipenuhi oleh ternak sapi, kerbau, domba, kambing, babi dan unggas saja, karena ternak ruminansia lambat tingkat reproduksinya, sedangkan unggas dan babi meskipun mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi dan tingkat pertumbuhan yang cepat, masih membutuhkan pakan yang mahal harganya dan berkompetesi dengan kebutuhan manusia. Untuk dapat memenuhi penyediaan daging dan penganeka ragaman komoditas hasil ternak, maka perlu dicari jenis ternak yang mempunyai potensi biologis tinggi dan ekonomis sebagai ternak penghasil daging, salah satunya ternak kelinci.
Banyak aspek yang menarik pada ternak kelinci, karena mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi, kemampuan memanfaatkan hijauan dan produk limbah dengan efisien, dagingnya mengandung protein yang tinggi dengan kadar kolesterol yang rendah dibandingkan dengan daging dari ternak lainnya, selain kulit dan kotorannya merupakan sumber uang tunai, namun demikian untuk pengembangannya banyak kendala yang dihadapi antara lain sulitnya pemasaran. Kesulitan pemasaran ini banyak diakibatkan oleh kurang populernya daging kelinci di masyarakat dan masih ada kekhawatiran bahwa kemampuan reproduksi yang tinggi dengan pertumbuhan yang cepat berakibat kepada peningkatan populasi yang tidak terkendali yang akan memberikan dampak merugikan bagi tesedianya pakan untuk ternak ruminansia, sehingga mereka beranggapan bahwa kelinci merupakan hama yang harus dimusnahkan.
Kurang populernya daging kelinci di masyarakat kemungkinan pada adanya kebiasaan makan (food habit) yang susah dirubah karena manusia biasanya memiliki ikatan batin, loyalitas dan sensitifitas terhadap kebiasaan makannya, meskipun dalam jangka waktu yang lama dapat ditembus pula pola kebiasaan makan tersebut, disamping itu efek psikologis sangat mendominasi kebiasaan makan daging kelinci dan sementara pihak ada yang beranggapan bahwa daging kelinci mempunyai flavor khas yang belum tentu dapat diterima oleh semua orang.
Keberhasilan untuk memasyarakatkan daging kelinci yang bijaksana, bukanlah bagaimana merubah kebiasaan makan, tetapi bagaimanakah kebiasaan makan itu berubah. Perubahan kebiasaan makan terjadi dengan dua cara, yaitu perubahan lingkungan dan perubahan pada makanan itu sendiri yang akan sampai pada suatu keputusan untuk menerima atau menolak suatu makanan. Perubahan lingkungan mencakup hal yang kompleks, yaitu sosial, ekonomi dan ekologis yang mengarah kepada perubahan kebudayaan dan keadaan sosial, sedangkan perubahan pada makanan adalah tugas dari ahli teknologi pangan untuk merubah penyajian atau merubah bentuk dari bahan pangan tersebut.
Perubahan dalam penyajian dan pengolahan daging kelinci telah dilakukan dan masih terbatas, misalnya dibuat sate yang kita dapati di sepanjang jalan raya Bandung - Lembang, dan ini terbukti sudah mulai diterima oleh masyarakat, bahkan beberapa restoran di Jakarta, Menado dan Bali telah menyediakan menu daging kelinci. Hal ini harus lebih dikembangkan lagi dalam bentuk olahan lainnya, sehingga dengan semakin populernya daging kelinci akan meningkatkan pula pertumbuhan peternakan kelinci sebagai ternak alternatif penyedia daging, disamping kulitnya dapat diharapkan untuk mengisi segmen tersendiri dalam industri kerajinan dari kulit.
Penyediaan Daging Kelinci
Dalam penyediaan daging kelinci, hampir sama dengan penyediaan daging untuk ternak lainnya, yaitu perlu dilakukan pemotongan dengan cara yang halal. Umumnya menggunakan metode Kosher dengan memotong tenggorokkan sehingga oesophagus, aerteri carotis dan vena jugularis terpotong, kemudian dilanjutkan dengan penggantungan pada kaki belakang, melepaskan kepala, kulit dan mengeluarkan organ dalam kecuali ginjal sehingga diperoleh karkas.
Menurut pendapat beberapa ahli, karkas kelinci diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu fryer dan roaster. Fryer adalah karkas dari kelinci yang dipotong pada umur kurang dari 12 minggu, sedangkan roaster adalah karkas dari kelinci yang berumur lebih tua. Persentase karkas fryer 50 - 59 %, sedangkan roaster 55 - 60 %. Berdasarkan persentase karkasnya, maka fryer diklasifikasikan dalam 3 kelas, yaitu prime (57,1%), choise (55,9 %) dan commercial (52,2 %).
Di luar negeri, seperti di Amerika Serikat daging kelinci lebih populer diperdagangkan dalam bentuk potongan karkas. Umumnya karkas kelinci direcah menjadi 7 potong, yaitu 2 potong bagian paha belakang, 1 potong bagian punggung dan pinggang, 2 potong bagian bahu, 2 potong bagian kaki depan. Untuk karkas yang besar dibagi menjadi 12 bagian, yaitu 4 potongan bagian kaki belakang, 5 potongan bagian pinggang dan punggung, 1 potongan bagian rusuk depan dan 2 potongan bagian kaki depan.
Pemasaran karkas fryer sangat ideal untuk dipacking di dalam box berlapis parafin berukuran panjang 9 inchi, lebar 4 inchi dan ketebalan 2,5 inchi dengan bagian permukaannya ditutupi plastik tembus pandang (cellophan), atau dapat pula dipacking dalam karton yang dilengkapi dengan gambar dan resep memasaknya, sehingga lebih menarik. Pemasaran daging kelinci yang memakan waktu 1 sampai 2 minggu harus dilengkapi dengan freezer.
Permintaan daging kelinci di luar negeri terus meningkat setiap tahunnya. Menurut Lebas et al., (1983), bahwa produksi daging kelinci dunia pada tahun 1980 sebanyak 1 juta ton, dan pada tahun 1991 meningkat menjadi 3 juta ton (Lebas dan Collin, 1992). Hal ini menunjukkan bahwa di luar negeri daging kelinci sangat disukai terutama bagi masyarakat di negara-negara Eropah. Berdasarkan data produksi dan konsumsi daging kelinci (Tabel 1) menunjukkan, bahwa konsumsi daging kelinci di negara Italia, Prancis, Spanyol, Belgia, Portugal dan Malta pada kisaran 2,0 kg/kapita/tahun sampai 5,3 kg/kapita/tahun, khususnya untuk negara Italia, Prancis dan Belgia, jumlah produksi daging kelinci lebih kecil dibandingkan dengan yang dikonsumsi, sehingga terjadi defisit untuk ke tiga negara tersebut sebanyak 36.000 ton.
Tabel 1. Produksi dan Konsumsi Daging Kelinci di Beberapa Negara Eropah
Sumber : Lebas dan Colin (1992) |
Rusia, Prancis, Italia, China dan negara-negara di Eropah Timur merupakan negara produsen terbesar daging kelinci, disamping itu ada pula beberapa negara yang memproduksi daging kelinci dalam jumlah kecil yang hanya ditujukan untuk konsumsi sendiri seperti beberapa negara Afrika dan Amerika Latin, Philipina, Malaysia, Mesir dan beberapa negara berkembang (Raharjo, 1994), sedangkan produksi daging kelinci di Indonesia sangat rendah dan tidak ditujukan untuk dipasarkan, sehingga tidak tersedia data berapa populasi dan jumlah produksi daging kelinci.
Karakteristik dan Komposisi Daging Kelinci
Daging kelinci berbeda dengan daging dari ternak ruminansia. Daging kelinci mempunyai serat yang halus dan warna sedikit pucat, sehingga daging kelinci dapat dikelompokkan ke dalam golongan daging berwarna putih seperti halnya daging ayam. Daging putih mempunyai kandungan lemak yang rendah dan kandungan glikogen yang tinggi (Forrest et al., 1975).
Keistimewaan daging kelinci yaitu mempunyai kalori, kolesterol dan natrium yang rendah. Untuk melihat atau membandingkan nilai gizi daging kelinci dengan daging dari ternak lainnya dapat dilihat pada Tabel 2..
Tabel 2. Perbandingan komposisi daging dari berbagai jenis ternak
Sumber : Chan et al. (1995) *) bagian paha dan pinggang **) lean meat |
Berdasarkan data pada Tabel 3, menunjukkan bahwa daging kelinci mempunyai kelebihan dibandingkan dengan daging ayam yaitu energi, kolesterol dan natrium yang lebih rendah, sehingga daging kelinci sangat baik dianjurkan sebagai makanan spesial untuk pasien penyakit jantung, manula, dan untuk mereka yang mempunyai masalah dengan kelebihan berat badan. Keuntungan lainnya dikemukakan oleh Benneth (1988) bahwa tulang pada kelinci lebih tipis, dagingnya halus, seratnya pendek dan mudah dikunyah.
Daging kelinci mempunyai kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan daging ayam dan membeli daging ayam secara tidak langsung juga ikut membeli kulitnya, sedangkan pada kelinci, kulit telah dilepaskan dari karkas dan mempunyai nilai tambah sebagai bahan baku industri perkulitan. Mengutip pernyataan Benneth (1988), bahwa Angkatan Laut Amerika Serikat pernah menggunakan daging kelinci sebagai menu, ternyata pemberian menu daging ayam membutuhkan 2 kali lebih banyak dibandingkan dengan menu daging kelinci.
Daging kelinci dapat dipromosikan sebagai daging yang berwawasan lingkungan, karena diproduksi dengan pakan yang tidak berkompetitif dengan manusia, dan dapat disebut juga sebagai daging alami (natural meat), karena kelinci dapat tumbuh dengan baik tanpa menggunakan feed additif non nutritive seperti antibiotik dan hormon, hanya pakan yang sesuai dengan pertumbuhannya.
Penanganan dalam Pengolahan Daging Kelinci
Pengolahan merupakan hal yang harus diperhatikan, karena dengan pengolahan akan menentukan apakah produk olahan tersebut diterima atau tidak oleh konsumen. Dalam proses pengolahan pangan, penggunaan panas untuk membunuh mikroba yang tidak diinginkan juga akan merusak zat nutrisi yang ada di dalam bahan pangan itu sendiri, oleh karena itu tugas seorang ahli teknologi pangan adalah mencari titik optimasi untuk mendapatkan bahan pangan dengan tingkat kerusakan nutrisi yang rendah namun aman untuk dikonsumsi.
Penanganan daging kelinci sebelum diproses lebih lanjut perl u dilakukan pendinginan atau dibekukan dan dibungkus dengan plastik atau aluminium foil. Pada suhu ini daging kelinci mentah dapat disimpan selama 4 sampai 6 bulan (Benneth, 1988). Daging kelinci beku sebelum dimasak harus dileburkan kembali (thawing) selama 4 sampai 9 jam untuk potongan karkas dan 12 sampai 16 jam untuk karkas utuh.
Pada pemasakan daging harus diperhatikan adanya keseimbangan antara tingginya suhu dan lamanya pemanasan, karena penggunaan panas yang tinggi dengan jangka waktu yang lama dapat menyebabkan perubahan cita rasa serta degradasi termal komponen kimiawi pangan yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas, sebagai contoh daging bagian paha memerlukan pemanasan basah pada suhu rendah dengan waktu yang lama, sedangkan daging dari bagian pinggang perlu pemanasan kering dengan waktu yang pendek. Selama proses pemanasan akan terjadi pembentukkan cita rasa yang dapat meningkatkan palatabilitas, hal ini disebabkan mencairnya l emak yang diikuti dengan pembentukkan senyawa volatil, disamping itu terjadi pula reaksi antara protein dengan gula reduksi yang ada pada daging.
Pemasakkan daging kelinci sama seperti halnya pada daging dari ternak lainnya, yaitu dengan pemanasan kering, perebusan dan penggorengan menggunakan minyak, disamping itu daging kelinci dapat diolah melalui berbagai produk olahan seperti sosis, baso, nugget dan banyak lainnya. Dalam pengolahan tersebut disamping bumbu diperlukan pula bahan pengisi yang akan menentukan rasa dan harga jual produk tersebut. Untuk mengetahui berapa besar harga yang dibutuhkan untuk membuat beberapa produk daging olahan dari daging kelinci dapat dilihat pada Tabel 3.
Perhitungan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk beberapa produk olahan kelinci pada Tabel 3 berdasarkan bahwa dari seekor ternak kelinci yang dipotong akan diperoleh karkas sebanyak 50 % dan daging sebanyak 75 % dari berat karkas, serta asumsi bahwa harga kelinci Rp. 15.000,-./kg berat hidup.
Penanganan Kulit Kelinci
Bila tujuan utama dari pemeliharaan ternak kelinci ini ditujukan untuk daging, maka akan timbul permasalahan baru, yaitu bagaimana cara menangani hasil ikutannya berupa kulit. Sebenarnya kulit kelinci yang dihasilkan mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan karena bila mendapat penanganan dan pengolahan yang baik, kulit ini akan memberikan nilai tambah yang lain untuk menggantikan ongkos produksi, tetapi hal ini perlu ditunjang oleh beberapa hal diantaranya pakan yang baik, umur potong yang tepat dan bangsa kelinci yang digunakan, karena hal ini akan ikut menentukan dalam penyediaan kulit yang berkualitas.
Dalam proses penanganan kulit, banyak tahapan yang perlu dilalui setelah kulit dilepaskan atau dikuliti, yaitu melalui pengawetan dan penyamakan. Proses penyamakan sebaiknya dilakukan pada kulit yang masih segar, tetapi bila jumlah kulit yang akan disamak sedikit tidak ekonomis maka perlu dilakukan proses pengawetan dahulu yaitu dengan dengan cara penjemuran, penggaraman atau pickle.
Penyamakan adalah proses penting untuk menghasilkan kulit dengan kualitas yang baik, mengingat kulit seperti halnya produk peternakan lainnya yang mudah rusak, maka dengan penyamakan akan merubah kulit yang semula labil menjadi stabil. Proses penyamakan kulit kelinci pada umumnya sama dengan penyamakan kulit lainnya, tetapi ada hal-hal spesifik yang perlu diperhatikan. Menurut Yurmiaty (1991), bahwa biaya yang dikeluarkan untuk penyamakan kulit, yaitu Rp. 4.712 sampai Rp. 5.9777 untuk setiap lembar kulit kelinci Rex.
Kulit kelinci yang telah mengalami penyamakan disebut fur. Terdapat tiga kelas fur, yaitu kualitas 1 (pluckers dan shearears), kualitas 2 (long hairs) dan kualitas 3 (hatters). Dinegara maju telah dikembangkan jenis kelinci penghasil fur untuk menggantikan fur dari binatang liar yang semakin langka dan dilindungi, oleh karena itu ternak kelinci cukup menarik untuk dikembangkan, karena selain ditujukan sebagai penghasil daging dapat juga sebagai penghasil fur. Hal ini akan menunjang kebijakan pemerintah dalam penyediaan protein hewani, peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan petani peternak.
Penutup
Sebagai penutup dari tulisan ini maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
- Ternak kelinci mempunyai prospek yang baik sebagai ternak alternatip penyedia daging
- Daging kelinci mempunyai nilai gizi yang baik untuk kesehatan
- Melalui pemasakan dan pengolahan daging dapat membuka peluang bagi sosialisasi dan pemasaran daging kelinci.
- Fur kelinci dapat memberikan nilai tambah yang tinggi
Daftar Pustaka:
- Bennett, B. 1988. Raising Rabbits The Modern Way. A Garden Way Pub. Book, United States.
- Chan, W., J. Brown, S.M. Lee and D.H. Buss. 1995. Meat, Poultry and Game, The Royal Society of Chemistry, London.
- Cheeke, P.R., N.M. Patton, S.D. Lukefahr and J.I. Mc. Nitt. 1987. Rabbit Production, The Interstate Printers and Pub., Inc. Danville Illinois.
- Dirjen Peternakan. 1999. Buku Statistik Peternakan (Statistical Book on Livestock), Jakarta.
- Forrest, J.C., E.D. Aberle, H.B. Hedrick, M.D. Judge and R.A. Merkel. 1975. Priciples of Meat Science, W.H. Freeman and Co., San Fransico.
- Lebas, F. 1983. Small Scale Rabbit Production, Feeding and Management System, World Anim. Rev. 46, 11-17.
- Lebas, F. and M. Collin. 1992. World Rabbit Production and Research Situation. 1992. J. Appl. Rabbit Res, 15, 29-54.
- Raharjo, Y.C. 1994. Potential and Prospect of an Integrated Rex Rabbit Farming in Supporting an Export Oriented Agribisnis, J. IARD. 16, 69-81.
- Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. 1998. LIPI, Jakarta.
- Yurmiaty, H. 1991. Pengaruh Pakan, Umur Potong Dan Jenis Kelamin Terhadap Bobot Hidup, Karkas Dan Sifat Dasar Kulit Kelinci Rex, Desertasi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
No comments:
Post a Comment